SCTV News

Kamis, 09 Juli 2009

Ketika Nurani (ku) Bicara

When I was child, hampir sebulan sekali mama minta ditemenin belanja ke daerah Masjid Raya,nyari pakaian or perlengkapan rumahtangga gt. Mama paling tahu, kalau aku paling ga suka diajak ke Angso Duo , udah bau..becek, ga ada ojek pula hehe2. Setelah puas belanja, ritual wajib kami berikutnya adalah makan tekwan langganan yang lokasinya masih di seputar Masjid Raya juga. Ada lorong kecil yang entah tembus kemana,dan hampir selalu rame, soalnya tekwan si Koko bener2 enak banget. Beberapa tahun yang lalu aku coba mampir kesana, sekedar mengulang nostalgia masa kecil. Tapi ternyata, si Koko sudah lama meninggal.

Puas belanja dan makan tekwan, dengan berjalan kaki kami menuju daerah Simpang Sado. Sekedar memberi sedekah bagi seorang laki-laki tua yang sudah tidak memiliki kaki, dan kedua tangannya pun hanya sebatas siku. Pertama kali kesana, aku sedih dan bertanya,?Ma, bapak itu puntung gara-gara kecelakaan yo? Koq kayak gitu tangan samo kakinyo??. My mom menjawab, ?Bukan Ko, bapak itu kena kusta, penyakit yang bisa bikin organ tubuh kita putus?. Ternyata, mama sudah rutin memberi sedekah kepada bapak itu sejak tahun 1984, saat aku masih di dalam kandungan. Mama bilang, semasa hamil aku dulu, dia cuma ngidam 2 hal. Buah, dan bersedekah pada bapak tua yang cacat itu.
Entah mengapa,saat kecil aku selalu kasihan setiap melihat pengemis. Apa bawaan sejak dalam kandungan? . Entahlah, yang jelas setiap setiap melihat orang tua yang cacat, atau ibu-ibu yang menggendong anak kecil, aku selalu iba. Pernah suatu saat aku naik angkot sendiri di Pekanbaru, tanpa pikir panjang aku ngasih duit Rp. 10.000 kepada seorang nenek tua yang sedang menggendong anak kecil, membawa plastik permen buat meminta-minta. Padahal, saat itu aku cuma bawa uang 20 ribu perak. Dasar anak SD hehe2.

Waktu berlalu, tiba saatnya aku menuntut ilmu di ibukota. Udah pada tahu kan kalau disana surganya peminta-minta. Ga ada sudut jalan yang luput dari pengemis, pengamen, pedagang keliling, etc. Ada yang jujur, ada juga yang akting. Di sekitar BEJ, hampir setiap maghrib sepulang kerja (aku kuliah sambil kerja), aku melihat seorang ibu yang kurus ceking memangku anaknya yang kutaksir baru berumur 2 tahun, ingusan dan tak terawat. Kalau ada uang, pasti aku kasih. Tapi setelah suatu ketika aku melihat si ibu dengan tega berkali-kali menampar dan memukul tubuh anak kecil itu (entah anaknya beneran atau tidak), rasa iba itu hilang sama sekali. Since that pathetic moment, setiap melihat peminta-minta yang ada dalam pikiranku cuma satu, that?s all fake. Mereka hanya sekelompok orang malas dan tidak mau bekerja. Mereka dieksploitasi, dan mereka rela. Mereka kesenangan dapat uang gampang. Mereka memanfaatkan kebaikan orang lain. Mereka memanfaatkan moment Ramadhan untuk mengemis. Dan pikiran buruk lainnya.

Hingga suatu saat, aku bertemu dengan seorang pengemis tua. Entah mengapa, ringan saja tangan ini memberi kepadanya, hanya lima ribu rupiah. Dan tanpa aku duga-duga, ia menangis dan mendoakan berbagai kebaikan untukku. Terlihat begitu tulus, begitu menyejukkan. Entah berapa lama I don?t get this feeling. Ah, aku terlalu jahat. Terlalu berprasangka. Betapa berartinya uang lima ribu rupiah bagi mereka. Yang buat aku, bisa hilang sekejap buat sebotol Mizone atau sekotak permen Frozz. Kehidupan
mereka memang terlalu berat untuk aku pahami. Mereka meminta-minta, karena mereka harus bertahan hidup. Mereka meminta-minta, karena memang ga ada yang peduli atas hidup mereka. Mereka meminta-minta, karena memang ga ada yang mau memberi mereka pekerjaan. Mereka meminta-minta, karena mereka ga sanggup untuk sekolah, bayar pake apa, beli seragam duit dari mana? Mereka ga punya keluarga, mereka kesepian, dan mereka ga punya apa-apa.

Ah, apa salahnya memberi seribu-dua ribu untuk mereka. Toh ga bikin aku miskin kan? Mudah-mudahan bisa membantu meringankan beban mereka. Apakah mereka penipu atau bukan, Allah yang tahu, dan Allah juga yang akan membalas. Yang jelas, im happy to share my happiness with them. Mudah-mudahan bisa sekedar meringankan bebanku kelak, ketika mata ini harus terpejam. Amien.

Oh ya, bapak tua yang di simpang sado itu..aku terakhir bertemu dengannya sewaku masih SMU dulu. Entah dimana ia sekarang?


Kiriman : Eko Rahmadian_Anggota Jambi Facebook Community (JFC)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Widget

Nonton TV Sebentar